Profesi guru sekarang banyak
mendapat sorotan dari berbagai pihak. Semua terjadi karena perputaran
jaman. Roda memang kadang berada diatas kadang berada di bawah. Begitu
juga profesi guru pun demikian juga. Kini guru menjadi sorotan karena
Indonesia mulai berbenah untuk memberikan pendidikan yang baik dan
bermutu tinggi kepada anak bangsanya. Apakah pendidikan dulu tidak
bermutu tinggi ? Apa betul terjadinya tindak kekerasan karena
pendidikan ?
Pendidikan itu luhur budi
Dari jaman dahulu pendidikan itu merupakan keluhuran. Jangan
sampai pendidikan hanya dijadikan kambing hitam dari banyaknya
kekerasan yang melanda di negeri ini. Baik formal dan tidak formal
pendidikan itu suatu keluhuran budi. Manusia yang tersentuh pendidikan
akan menjadi manusia yang luhur budinya, dia akan rendah hati pandai,
cerdas, cekatan dan dekat dengan sang Maha Menciptakannya. Bukan
sebaliknya yaitu yang sombong, congkak, kasar, iri, dengki, cepat putus
asa, jalan pintas, dan munafik. Seorang yang tersentuh pendidikan akan
berjiwa ksatria dan sportif.
Bila ada penyimpangan tingkah laku dari yang ada
dalam sentuhan penddidikan itu bukan kesalahan pendidikan, pendidikan
tetap suatu yang tinggi.
Begitulah. Namun memang tidak bisa dipungkiri,
karena pendidikan itu sesuatu yang tidak kelihatan, maka sukar sekali
orang menghargainya sebagai sesuatuuu yang luhur. Orang jadi gampang
sekali mengatakan, banyak kekerasan karena kesalahan pendidikan. Kalau
sudah seperti itu akan merambat kepada guru, dan seterusnya hingga
membuat lingkaran yang tak putus-putusnya dalam dunia pendidikan.
Sertifikasi guru
Akhirnya sampailah kepada label sertifikasi guru
yang selalu menjadi ramai diperbincangkan oleh siapapun. Diantara guru
bila ada kata-kata sertifikasi cepat sekali respon mengenai hal
tersebut.Diantara masyarakat maslah ini menjadi suatu kecemburuan
dikatakan bahwa sekarang guru itu sangat enak sekali, mendapatkan uang
dengan sangan mudah. Sehingga akhirnya banyak opini-opini terbentuk
tentang sertifikasi ini sampai pada himbauan agar sertifikasi
diperketat.
Alhasil memang benar sekarang sertifikasi
diperketat. Tapi bagaimana perketatannya? Sebenarnya selama masyarakat
hanya memiliki kerangka berfikir kuantitatif saja, hal itu tidak akan
terwujud sepenuhnya. Namun bila berpijak pada pemikiran kualitatif,
kegagalan terwujud dari program itu akan minim bahkan akan tercapai
kesuksesan.
Kenapa bisa terjadi hal demikian? Sekarang
sertifikasi tidak diadakan secara portofolio lagi namun diadakan secara
pendidikan dan pelatihan guru. Pendidikan dan pelatihan gruru ini
diberikan oleh universitas besar yang berada di daerah tersebut guru
berada. Dimaksudkan agar penambahan kompetensi itu terukur berdasarkan
Universitas besar tersebut. Bisa dipahami itu bahkan disetujui seratus
persen program ini.
Namun dalam hal mengukur kemampuan guru yang
bersinggungan dengan perketatan itu diukur dengan test ujian nasional
yang berdasarkan nilai. Hal inilah yang yang menjadikan menjadikan
kesulitan bagi peningkatan kompetensi ini. Peningkatan kompetensi,
ditambahnya pendidikan oleh universitas besar itu kan sudah peningkatan
kompetensi. Seberapa jauh masuk dalam otak atau brainnya guru, bila
diukur dengan soal test ujian yang sifatnya misal, akan rawa dengan
segala kerawanan. Kerawanan inilah yang menjadikan penambahan kompetensi
itu pudar tujuannya. Para guru hanya memikirkan apa keluarnya soal
soal test lalu penambahan-penambahan dalam pelatihan itu seolah sirna.
Lebih penting memikirkan soal=soal test yang sarat dengan kerawanan.
Akhirnya, penambahan kompetensi dan kesejahteraan
gurupun tidak merata. Banyak guru yang beruntung, sebagian guru tidak
beruntung, dalam hal ini. Akhirnya guru meskipun sebutannya sama tapi
berbeda beda.
Pada guru yang tidak beruntung, akan berkata yang
terpenting dari pendidikan adalah mendidik siswa, aku pendidik, aku
mendidik siswaku dengan baik, apapun yang aku terima.
(Novi Saptina - Penulis dan Guru SD
Bisa dikunjungi di Blog: www.kompasiana.com/novisaptina)
No comments:
Post a Comment